Pengantar:


Bagi saya karya ini adalah karya besar yang penuh dengan nasehat kehidupan. Karya ini lahir tentu saja melalui kajian yang mendalam atas landasan sosiologis dan filsafat jawa. Bersama teman yang dulu juga pernah menjadi seorang guru, selama lebih dari dua tahun saya mencoba menerjemahkan untaian syair, demi mendapatkan sebait syair yang berat maknanya. Saya bersama teman (Emdi: Jumadi, Mantan anggota DPRD II Batang dari fraksi PDI), bermaksud mengkaji karya-karya besar para pujangga, kanjeng sunan, dan filosof jawa lainnya serta menyempurnakan pengumpulan karyasemacam ini demi kelestarian dunia kesastraan jawa.

Mudah-mudahan kesukaan saya pada tembang Mocopat dan kemampuan Om Emdi dalam berbahasa Jawa mampu memberi energi yang besar dalam berkarya terus menerus sehingga Kidung Panguripan pada akhirnya dapat menjadi kumpulan sastra jawa yang berguna bagi para pembaca. Selamat membaca dan merenungkan.......

Jumat, 15 Mei 2009

PENAFSIRAN PENULIS TENTANG NAMA-NAMA PADA TEMBANG “ MACAPAT “

A. Dari Buku Penataran Seni Karawitan Guru SD Se Jawa Tengah tanggal 6 sampai dengan 9 Mei tahun 1996 di Semarang yang memuat pengertian “ Macapat dipandang dari nama, arti dan makna “ sebagaimana di bawah ini :
1. Dari Buku Baoesastra (Bausastra ejaan sekarang )
2. “ Macapat “ berarti kiblat papat ( empat kiblat )
3. “ Macapat “ ( gatek ) rekaan dari kata “ Moco – Mat “ ( membaca nikmat ) enak didengar saat dilantunkan ( ditembangkan )
4. “ Macapat “ ( pigeaud ) yang berarti membaca dengan irama, netrum.
5. “ Macapat “ ( etimologi ) “ ma + capat, ada kaitannya dengan lupa-lupa ingat, karena kadang hafal kadang tidak, sehingga “ capat berarti cepat “
6. Buku Poezie in Indonesia ( Slamet Mulyana ), “ Macapat “ itu perobahan dari kata “ Macakepan “ yang artinya membaca lontar, kejelasan ini dapat dilihat dalam buku “ Kalangwan “ ( Zoct Mulder ), lontar itu disebut cakepan ( Bali )
“ Macapat “ identik dengan kata ma – capak, “ capak “ jadi cakep, sehingga “macakepan “ adalah “ membaca rontal “


B. Buku S. Padmo Sukotjo, telah banyak mengupas dan menjelaskan budaya jawa sebagai “ Kagunan Adi Luhung “ ( manfaat perbuatan baik ). Dari masalah kesastraan maupun bentuk kebudayaan jawa yang menyangkut ‘ lahir batin “

Pada buku S. Padmo Sukotjo, yang menjelaskan tentang tembang “ Macapat ‘ yang memuat pengertian tembang dengan irama, netrum. Dengan perbedaan-perbedaan “ tembang cilik ( kecil ), tembang tengahan, tembang humor “

Sedangkan pada watak tembang-tembang “ Macapat “ banyak dikaitkan dengan perasaan saat tembang “ Macapat “ dilantunkan serta pada urutan “ nama-nama Macapat “ yang menyangkut nama seperti nama “ Mijil, sinom, dan seterusnya dari tembang Macapat berbeda dengan penafsiran penulis, karena penulis lebih tertarik nama-nama tembang Macapat” pada sifat filosofinya.

Dari jumlah 15 ( lima belas ) tembang yang dilahirkan pujangga R. Ng. Ronggo Warsito maupun R. Harjo Wirogo peulis mengamati 11 ( sebelas ) nama tembang Macapat dan 1 ( satu ) nama tembang yang tidak masuk sebagai katagori tembang mocopat yaitu yang namanya tembang “ Wirangrong “

Sedangkan secara berurutan dari 11 tembang Macapat dan 1 tembang wirangrong mempunyai pengertian secara filosofi kalau diurutkan sebagai berikut :
1. Nama tembang “ mijil “ artinya = lahir
2. Nama tembang “ Maskumambang “ = emas yang mengapung diatas air mengandung penafsiran sebagai ‘ air mata “. Air mata keluar karena suka ataupun duka, maka bisa dibilang irama tembang maskumambang itu mengharukan, jika seseorang merasa “ terharu ‘ akan keluar air mata baik karena sedih atau senang.
3. Nama tembang “ Kinanti “ pengertian kinanti dari kinanten yang artinya di gandeng ( di tuntun )
4. Nama tembang “ Sinom “ asal kata si + enom yaitu berarti muda atau remaja
5. Nama tembang “ Dandanggula “ berasal dari dandang + gula . danfang artinya angan-angan, gula artinya manis. Jadi danfanggula = angan-angan yang manis
6. Nama tembang “ Asmaradana “ asal kata , asmara + dahana, asmara = cinta, dahono = api. Jadi asmorodono = api cinta
7. Nama tembang “ Durma “ dari kata “ Nundur toto kromo “ ( tidak beretika, kurang mengenal sopan santun )
8. Nama tembang “ Gambuh “ dari kata “ gampang nambuh “ ( mempunyai pengertian cuek, atau acuh tak acuh )
9. Nama tembang ‘ Pangkur ” dari pengertian “ ngepange pikir arep mangkur “ ( pikiran yang bercabang karena usia tua )
10. Nama tembang “ Megatruh “ dari pengertian megat + ruh. Megat ( misah, perpisahan ) ruh ( sukma, roch ) jadi megatruh = misahnya sukma raga ( meninggal )
11. Nama tembang “ Pucung “ dapat diartikan “ pocong “ ( orang meninggal di bungkus kain putih )
12. Nama tembang “ Wirangrong “ pengertian sederhana. Wirang + rong. Wirang = malu, rong = goa di tanah. Rong dapat diartikan “ lobang di tanah “. Jadi wirongrong mengandung pengertian ‘ bila hidup tidak berperilaku baik, maka rasa malu terbawa sampai ke liang lahat apabila telah meninggal dunia “

Maka jika dipahami dari nama-nama temvang “ mijil “ diurut sebagaimana tersebut diatas sampai pada tembang wirangrong itu merupakan gambaran manusia dari lahir, hidup dan mati.

Disamping itu ada gambaran watak ( sifat ) di masing-masing nama-nama dari 12 ( dua belas ) tembang tersebut yang terbagi pada 3 ( tiga ) proses : lahir, hidup dan mati. Dimana pada tiap-tiap masa, lahir, hidup dan mati mempunyai persamaan sifat, baik bagaimana, sifat lahir ( sifat bayi ) sifat hidup ( rata-rata sifat manusia dengan cara hidupnya ) dan sifat mati ( proses, upacara, cara menangani masa akhir hayat hidupnya manusia ).

Disamping itu masing-masing manusia juga mempunyai sifat khusus yang biasa disebut “ watak “, watak manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda, sampai-sampai ada pengertian watak orang itu disebut “ ciri wanci, cuplak andeng-andeng ginowo mati “ ( sifat watak manusia dari lahir yang tidak dapat atau jarang dapat dirubah ) seperti watak mudah marah, mudah mutung (ngambek) atau watak lembut penuh kasih sangat berbeda pengertiannya dengan watak sifat yang kami maksud, contoh : yang namanya bayi rata-rata mempunyai kesamaan, cara cara menyusu ibunya, sifat remaja rata-rata mempunyai kesamaan mudah emosi, pukul dulu main belakang ( tidak pakai unggah-ungguh atau tata krama ). Maka sifat pemuda banyak dimanfaatkan sebagai kaum pendobrak, pembaharuan reformis. Sedangkan sifat orang-orang tua rata-rata juga mempunyai persamaan, kedewasaan berpikir, gerakan fisik yang lamban, mudah lupa.

Pengertian-pengertian sifat manusia yang tergambarkan pada nama-nama 12 ( dua belas ) tembang yang telah penulis sampaikan diatas tercermin sebagai berikut :
1. Proses kelahiran bayi dari sejak lahir sampai menjelang remaja, tergambarkan pada nama tembang
- Mijil
- Maskumambang
- Kinanti
2. Proses kehidupan remaja tergambarkan pada nama tembang
- Sinom
- Dandanggula
- Asmaradana
- Durmo
- Gambuh
3. Sedangkan proses kehidupan orang-orang tua sampai dengan saatnya meninggal dunia, tergambarkan pada tembang
- Pangkur
- Megatruh
- Pucung
- Wirangrong

Maka jika diamati nama tembang “ macapat “ secara filosofi berarti maca + sifat ( membaca sifat ) sebagai mana di depan.
“ Macapat “ = membaca sifat oleh penulis merupakan tembang ( kidung ) kehidupan manusia dari lahir, hidup dan mati.
Kidung penguripan = gambaran kehidupan manusia yang dilantunkan melalui “ tembang ‘

Agar kaum muda di era global sekarang ini tertarik untuk membaca potensi budaya “ adi luhung “ maka penulis menceritakan sifat-sifat 12 ( dua belas ) tembang mocopat dalam bentuk puisi ( geguritan ) dan dalam tembang yang oleh penulis sukai ( pupuh dandanggula ).

Penulis sungguh tertarik untuk menggali Potensi Kasanah Sastra Jawa dan kebudayaanya yang cukup unik, enak didengar saat dilantunkanmenjadi tembang dan dapat memberi panduan filosofi dan relegi dalam mengarungi bahtera kehidupan dalam proses perubahan jaman. Apa itu jaman kolo bendu, pancaroba, atau jaman kencana rukmi ( keemasan ).

Jaman kalo benda, penulis menganggap sebagai “ jaman edan “ karena pengatur lalu lintas kehidupan di dominasi orang yang mempunyai sifat, watak yang tidak baik pada jaman edan, manusia di uji moral, iman dan kekuatan batin untuk tetap berperilaku baik, meski sulit sekali implementasinya sebagaimana digambarkan pada “ amenangi jaman edan “ oleh R. Ng. Ronggo Warsito.

Amenangi jaman edan
Ewuh oyo ing pambudi

Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun

Ndilalah kersane Allah
Begjo-begjone kanglali
Luwih begja kang eling lan waspodo
Hidup di jaman edan
Betapa sulit berupaya dengan segenap cara

Ikut edan tidak tahan
Jika tidak ikut edan ( gila )
Berarti tidak punya keinginan
Akhirnya tidak dapat makan / lapar

Untung karena kehendak Tuhan
Untung, untungnya orang yang lupa
Lebih untung yang ingat Tuhan dan dari godaan iblis

Jaman edan sebuah gambaran-gambaran yang menyangkut situasi dan kondisi yang sangat paradox, meski logika, ajaran Agama, tuntunan orang tua telah ditanamkan sejak dini ( sejak lahir ). Betapa kuatnya pengaruh-pengaruh itu, sehingga sulit unuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, bajik dan santun. Itulah sebabnya kami sangat tertarik untuk menghubungkan mocopat membaca sifat, dengan pengertian, sifat yang perlu di baca yaitu sifat baik dan sifat buruk. Dimana sifat baik dan sifat buruk, tergambarkan pada huruf jawa. Hana caraka data sawala, pada jayanya ma ga bha tha nga.

Dari sejarah huruf jawa yang konon di ciptakan oleh seseorang yang bernama “ Aji Saka “ yang mempunyai pengertian.
Aji : sangat berguna
Saka : cagak ( tiang dalam Bahasa Indonesia )
Contoh : rumah perlu cagak / tiang penyangga
Jika rumah perlu tiang penyangga ( cagak ) maka “ Aji Saka “ dapat diartikan penyangga kehidupan.
Sedang terjemahan secara bebas tentang huruf jawa sebagai berikut :
Hana caraka : ada utusan
Data sawala : dhat dan suwolo ( manusia tak bisa menolak utusan tersebut )
Pada jayanya : sama-sama kuat, apa ? dan siapa ? utusan tersebut adalah
sebuah sifat baik dan sifat buruk yang mempunyai kekuatan
yang sama ( betapa sulit kehidupan ini di jalani, namun juga
mudah jika kita amay paham sifat baik dan sifat buruk )
maga bhathanga : sukmo lungo rogo dadi batang ( pisahnya sukma dan raga )
berarti pisahnya pengaruh sifat baik dan buruk yang selama
hidup di dunia mendampingi dan kedua sifat itu tidak lagi
mencampuri / mempengaruhi sukma ( ruh ) itulah sebabnya
kita menjadi sulit berbuat sesuatu di jaman edan saat masih
hidup di dunia sebagaimana nada tembang ilir-ilir.

“ lunyu-lunyu penekna blimbing kuwi, kanggo mbasuh dodotira “ akan kami perjelas sebagai berikut :

Tapsir tembang ilir-ilir

Lir ilir lir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar



Cah angon, cah angon




Penekno blimbing kuwi












Lunyu-lunyu penekna


Kanggo mbasuh dodot ira

Dodot iro dadat ira


Kumitir bedah ing pinggir







Dondomana, jlumatana


Kanggo seba mengko sore


Pumpung padang rembulane
Pumpung jembar kalangone
Yo surak …o, surak, hore
Kipas-kipas agar semilir
Tanaman mulai tumbuh, hidup
Warnanya yang hijau menyejukkan
Saya kira penganten baru ( sebuah pemahaman kehidupan manusia di awal kelahirannya dan masa-masa keindahannya )

Nama “ cah angon “ berpengertian angon angen-angen ( menggembala angan-angan ) kemana arah pikiran kita yang dapat memberi pengaruh pada perbuatan kita

Ambilkan / panjatkan buah belimbing itu.
Kenapa tembang ini menyebut buah belimbing ? karena jika dipotong dan dilihat potongannya akan terlihat bintang dengan sudut lima yang dapat diasumsikan :
Bintang adalah simbol atau lambang Tuhan bagi bangsa Indonesia yang tertuang dalam peresai Garuda Pancasila.
Sudut lima sebagai lima unsur baik untuk memberi filter dari lima unsur buruk ( mo limo ). Jika dicermati ( filosofis angka lima tidak asing bagi kita semua ) sebagai bangsa Indonesia

Meski berbuat baik itu susah tetap harus dijalankan ( meski licin sekali harus dipanjat )

Artinya = ingus di hidung kita

Artinya = ingus di hidung kita


Jika kamu flu / drop tensi kita, maka ingus di hidung mengalir tak henti-hentinya ( gambaran kekotoran ) dan merupakan gambaran, jika kita terlanjur berbuat tidak baik betapa mudah untuk melakukan berulang-ulang kali. Berbeda jika kita ingin berbuat baik susahnya bukan main

Sebuah gerakan membersihkan lobang hidung, seperti orang menjahit dengan tangan (manual )

Untuk menghadap nanti sore ( meninggal di usia tua )

Mumpung kita masih hidup agar saat kematian tiba, kita siap, ihklas, dan tidak sulit



Itulah garis-garis besar penafsiran penulis pada wacana nama tembang mocopat, tulisan jawa Ha, na, ca, ra, ka,
Da, ta, sa, wa, la,
Pa, da, ja, ya, nya,
Mo, go, bha, tha, nga,
Dan tembang ilir-ilir yang konon ceritanya penciptanya adalah Kanjeng Sunan Kalijogo ( penulis tidak ada referensi yang riil ).

Bagi kami khasanah Budaya Jawa yang adi luhung sebagai wacana menegerial kehidupan lahir dan batin dalam mengarungi kehidupan di alam dunia, yang mempunyai hukum tidak langgeng ( Cakra Manggilingan ) yang artinya roda yang berputar kadang diatas kadang dibawah ( jika itu diasumsikan pengaruh sifat baik dan buruk ).

Masih banyak budaya jawa yang adi luhung yang perlu kita lestarikan dan pendalaman materinya untuk manfaat dan pemahaman selama kita hidup di alam dunia. Sebagaimana contoh-contoh tulisan dalam bentuk petuah yang kadang paradox dan sulit di cerna.

1. Ning ngarso sun tulodo
Ning madyo mangun karso
Ning mburi tut wuri handayani

2. Catur Paradoxsal :
Sugih tanpo bondo
Digdoyo tanpo aji
Nglurung tanpo bolo
Menang tan ngasorake

3. Suro diro joyo ningrat lebur dening pangastuti

4. Ngono yo ngono ning ojo ngono

5. Aja dumeh

6. Ajining diri gumantung ing lati

7. Wong bener kalah karo wong sing eling.
Wong pinter kalah karo wong sing
awas.

Di depan memberi keteladanan
Di tengah membangun yang dicita-citakan
Di belakang mengikuti


Kaya tanpa harta
Sakti tanpa ajian
Berperang tanpa teman
Memenangkan tak merasa mengalahkan

Keberanian yang mengandalkan kekuatan lebur / kalah / hancur oleh kebaikan

Seperti itu silahkan tetapi jangan seperti itu

Jangan sok

Harga diri tergantung pada lidah

Orang yang benar kalah dengan orang yang ingat
Orang yang pintar kalah dengan orang yang awas / waspada


Betapa sederhana tulisan para pujangga leluhur kita tapi sangat sulit bagi kita untuk menterjemahkannya. Tulisan-tulisan sastra yang cukup mengkritisi kondisi para pemimpin sejak dulu sudah ada, sebagai peringatan semua pihak, bahwa dalam hidup yang bisa sederhana ternyata dapat menjadi tidak sederhana, jaman dulu sederhana itu berpengertian hidup itu intinya pada :
1. pangan = makan
2. sandang = pakaian
3. papan = rumah
yang tentunya jika ingin sempurna ketiganya merupakan implementasi yang integral meski logika tidak benar. Jika tidak urut dan tentunya di perkembangan abad sekarang yang cukup liberal dan globalistik tiga cakupan itu menjadi dipertanyakan. Sebagaimana contoh mencari seorang pemimpin harusnya :
1. Bener = benar
2. Kober = meluangkan waktu
3. Pinter = pintar / cerdas
Namun fenomena era sekarang ( tahun 2009 ) tidak lagi menggunakan urutan tersebut sebagai paugeran ( standarisasi ). Kita lihat proses demokratisasi politik di negeri ini, tidak jauh dari tulisan “ Serat Kalatida “ oleh Ki Ronggo Warsito.

Mangkyo derajating praja
Kawuryan wus sonyoruri
Rurah pangrehing ukara
Karono tanpo palupi
Ponang paraneng kawi
Kawel witing tyas maladung


Kenyas kasudramiro


Tiden tandaning dumadi

Ardoyengrat dening karoban rubedo


Ratune ratu utomo

Patihe patih linuwih

Pronayoko tyas raharjo


Panangkare becik-becik


Parondene tan dadi

Kalis ing kalo benda
Alkisah keadaan negara
Terlihat sunyi senyap
Rusaknya semua tatanan
Karna tiada keteladanan
Semua para leluhur
Melihat yang tumbuh subur dan berkembang


Hanyalah kondisi rendahnya moral dan hancurnya ahlak mulia

Negara terlihat seperti mati

Semua serba bermasalah dan sulit menyelesaikannya ( cara menyelesaikannya )

Padahal pimpinannya baik dan pilihan

Wakilnya pun sangat tangguh

Seluruh aparatnya sangat sejahtera, di cukupi hidupnya

Program pembangunan negara dan bangsa sangat baik

Mengapa tak mampu mensejahterakan rakyatnya ?

Untuk tidak menjadi rakyat yang serba kurang yang akan menimbulkan tindakan anarkisme ( terhindar dari perilaku yang tidak baik )


Begitu banyak yang dapat dipetik untuk melengkapi bagaimana bisa terhindar dari pengaruh sifat-sifat buruk, seperti pepatah jawa :
“ di garuwo, di luku’o biso mrojol ing sak sela selaning garu “ ( seperti pekerjaan bapak tani melakukan olah tanah di sawah menggunakan garu dan luku )

Pengertian filosofinya, meski begitu sulit kita selalu berusaha agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang nistha ( tidak baik ). Meski sulit kita hidup dalam “ jaman edan “ meski banyak godaan dan hidup penuh persaingan di antara kita, serta adanya pengaruh-pengaruh global dan modernisasi maka dengan membangun kembali budaya Bangsa Indonesia yang adi luhung, kita usahakan untuk :
- Berdaulat di bidang politik
- Berdikari di bidang ekonomi
- Berkepribadian di bidang budaya

4 komentar:

  1. sesawang jalmo tansah andhap asor mireng pitutur luhur poro pawong jawi kang upoyo uri - uri budhoyo...amugi paring berkahing Gusti....mumpung padang rembulane jembar kalanganane ayo podho sorak ....hore!

    BalasHapus
  2. Trimakasih. Komentar anda memberi semangat kepada Saya dan Om Emdi. Layangkan tulisan anda di karsobatang@gmail.com jika ada.

    BalasHapus
  3. Kelihatannya ada satu tembang lagi yg belum disampaikan, setelah wirangrong yaitu "girisa".

    BalasHapus